Red Bobblehead Bunny

Friday, December 27, 2013

New Hopes!

Posted by Feren Marcelina at Friday, December 27, 2013

Kubuka  mataku perlahan-lahan.
“Hah? Dimana aku?” gumamku sambil menggaruk-garuk kepala.
“Kamu di rumah sakit,” ucap seorang anak perempuan yang usianya kira-kira sebaya denganku, “tadi kamu pingsan.”
“Hah? Kamu siapa?”
ucapku kebingungan.
“Aku ini sahabatmu. Kamu beneran lupa sama aku?” tanyanya.
“Hahaha, jangan mengada-ada. Aku bahkan tak pernah sekalipun melihat batang hidungmu. Ah, ini aku sedang melihatmu, hahaha,” tawaku sambil memegang dadaku.
“Eh, ini apa?!”
Aku terkejut bukan main. Terdapat beberapa perlengkapan medis yang terpasang di sekitar dadaku.
“Ah, syukurlah, kamu sudah sadar,” ucap seorang ibu. Sepertinya aku pernah melihatnya sesekali, tapi dimana, ya?
“I.. ibu.. ibu siapa?” tanyaku.
Ibu itu tidak menjawab pertanyaanku, melainkan langsung menundukkan kepalanya dan menangis.
Apakah aku sudah membuat kesalahan?!
Sekilas memori mengalir di otak besarku. Hah?!
Aku memejamkan mataku sejenak. Aku mengingat sesuatu. Sesuatu yang amat indah. Dalam kegelapan, aku melihat cahaya lilin kecil yang mengarah ke arahku. Aku terkejut. Tiba-tiba, suara nyanyian merdu pun terdengar.
“Happy birthday Greyson, happy birthday Greyson, happy birthday, happy birthday, happy birthday Greyson! Yayyyy!!!”
CLAP, lampu pun tiba-tiba menyala. Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Aku sangat terharu. Ternyata mereka adalah sahabat-sahabatku. Ah, ini adalah pesta ulang tahun ke-15 untukku. Pesta yang sangat meriah, bukan? Eh, tunggu. Pesta? Pesta ulang tahun?
Perlahan aku membuka kedua mataku kembali. Suasana telah berubah. Anak perempuan tadi yang mengaku sebagai sahabatku sudah tertidur pulas di kursi sofa yang ada di pojok ruangan. Aku bangkit dari kasurku dan beranjak menuju ke arah anak perempuan tersebut.
“Cantik,” gumamku sambil mengelus kepalanya. Aku tersenyum memandanginya. Aku pun berusaha memindahkannya ke tempat tidurku, sedangkan aku menuju ke arah jendela. Aku membuka korden dan aku melihat salju yang tengah turun. Salju-salju yang menumpuk di tengah keramaian.
***

“Greyson? Greyson?!” teriak seorang anak perempuan yang mengejutkanku.
“Uhm.. ah.. ada apa?” tanyaku sambil mengucek-ucek kedua mataku.
“Kenapa kamu bisa tertidur di lantai sedangkan aku malah tertidur di ranjangmu?”
“Entahlah,” jawabku singkat kemudian langsung meninggalkannya untuk menuju ke kamar mandi.
Aku melihat diriku sendiri melalui cermin. Pucat, sangat pucat. Ya, pucat sekali wajahku. Aku pun kembali mengecek dadaku. Dan tidak ada alat medis yang terpasang di sana. Aku pun bingung. Aku mengambil segayung air dan membasuh kedua tanganku dengan air tersebut. Aku pun membasahi wajahku pula, supaya terlihat sedikit segar. Setelah selesai, aku keluar dari kamar mandi.
“Kamu kenapa?” tanya anak perempuan itu.
“Kamu itu yang kenapa. Kamu itu sebenarnya siapa sih?!” ucapku setengah membentak.
“Aku adalah sahabatmu, ingat? Namaku adalah Julie Alexandra,” ucapnya sambil tertunduk. Sepertinya ia merasa sedikit tersinggung karena ucapanku tadi.
“Uhm.. maaf,” gumamku sambil menyodorkan tangan kananku, berharap agar ia mau menerimanya.
“Tak apa,” ia berbisik sambil menerima tanganku. Aku tersenyum. Ia juga tersenyum. Suatu senyuman yang benar-benar indah bagiku.
“Indah,” gumamku.
“Hah, apa katamu?” tanyanya kebingungan.
“Uhm.. bukan apa-apa.”
“Eh, by the way, apakah kamu ingat siapa namamu?” tanya Julie.
“Namaku? Tentu saja aku ingat! Namaku itu... uhm... siapa ya? Kok tiba-tiba aku lupa.. duh,” ucapku sambil mengacak-acak rambutku.
“Eh, jangan begitu, kalau kamu tidak ingat, aku akan berusaha semampuku untuk membantumu supaya ingatanmu segera pulih,” ucap Julie sambil merapikan rambutku yang baru saja aku acak.
Pipiku memerah, jantungku berdegup kencang, napasku tak beraturan. Perasaan apa yang sedang menyelimuti diriku ini?
“Ayo,” ucap Julie tiba-tiba sambil menggandeng tanganku dan mengajakku keluar ruangan.
Aku meihat banyak hiasan Natal terpasang di sana maupun di sini.
“Ini masih tanggal 15 Desember, Natal masih 10 hari lagi. Namun orang-orang di kota ini selalu mempersiapkan Natal dengan membuat dekorasi Natal yang sangat indah, mulai dari tanggal 1 Desember. Jadi, itulah sebabnya kamu sudah bisa melihat dekorasi natal ini,” jelasnya sambil tersenyum ke arahku. Aku tersenyum.
“Ngomong-ngomong, kita ini ada di mana, ya?” tanyaku.
“Seperti yang aku bilang kemarin, kita sedang di rumah sakit, di kota Paris,” jelas Julie.
“Dan bisakah kamu memberitahuku? Mengapa aku tak dapat mengingat siapa-siapa dan apa pun yang ada di kehidupanku di masa lampau?” tanyaku lagi.
“Kamu terserang amnesia, maklum jika kamu tidak mampu mengingat apa-apa. Amnesia itu memang penyakit yang membuatmu kehilangan memori,” jelas Julie. Aku terkejut.
“Sudahlah, jangan berhenti dan berbicara di sini terus, bosan tahu, ayo kita jalan-jalan di kota,” ajak Julie seraya menggandeng tanganku. Aku mengikutinya di belakang.
“Wah.... bagus banget pemandangannya....!!” teriakku. Julie hanya tertawa kecil melihat tingkahku. Ia pun mengeluarkan syal dari tas kecilnya dan melilitkannya di leherku.
“Apa ini?”
“Ini namanya syal, supaya kamu enggak kedinginan.”
“Wow, lucu, makasih banget, ya!” ucapku seraya memandangi syal miliknya.
Kami berdua berjalan-jalan di pusat keramaian kota. Kota Paris pada malam hari memang sangatlah indah. Julie membelikanku banyak sekali makanan malam itu. Setelah kami lelah, kami duduk di sebuah bangku di pinggir jalan.
“Hmm, hari yang menyenangkan,” ucapku sambil menyenderkan leherku ke bangku tersebut.
“Grey,ada yang mau kusampaikan ke kamu,” ucap Julie tiba-tiba.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ini masalah namamu. Dengerin aku, ya, namamu adalah Greyson Michael Chance. Mengerti?” ucap Julie sambil menggenggam kedua tanganku. Wah, wajahku kembali memerah.
“I.. iya..” jawabku terbata-bata.
Julie pun terseyum kemudian mengalihkan pandangannya ke sebuah toko kecil di pojok perempatan jalan.
“Apa yang sedang kau lihat?” tanyaku.
Julie hanya menunjuk ke arah toko kecil tersebut.
“Wah, sepertinya toko itu menjual berbagai macam permen natal,” ucapku.        “Tentu saja. Ayo,” ajak Julie lalu kembali menaik tanganku. Kami berdua pun berlari menuju toko permen tersebut. Setelah sampai di sana, kami berdua menganga lebar karena ada banyak sekali permen dengan berbagai macam warna di sana.         
“Wahhhh!!!!”
Julie pun langsung menarik tanganku dan melihat-lihat permen yang ada di sana. Ia pun membeli banyak sekali permen natal pada malam itu. Kami berdua pun keluar dari toko kecil tersebut dengan 2 buah keranjang yang penuh dengan permen.
“Semua permen ini buat siapa?” tanyaku.
“Buat kita berdua lah. Pokoknya kamu harus janji, tanggal 24 Desember nanti, atau saat malam natal, kita harus menghabiskan permen-permen ini bersama. Okay?”
“Okay,” jawabku.
Julie mengeluarkan silet kecil dari kantong roknya lalu menggoreskannya sedikit di jari telunjuknya. Aku pun menyodorkan jari telunjukku dan ia menggoresnya sedikit dengan silet tersebut. Kemudian kami menyatukan darah kami dengan cara menyatukan telunjuk kami.
Julie pun menjelaskan panjang lebar, bahwa cara berjanji kami dulu juga seperti itu. Wah, sedikit mengerikan bukan?
Julie menarik tanganku dan mengajakku ke gereja. Saat di dalam gereja, ia berlutut di depan patung malaikat dan berdoa sambil membawa lilin kecil di genggamannya. Saat itu gereja sedang kosong dan hanya ada kami berdua di dalam gereja tersebut. Aku pun berjalan-jalan sambil melihat-lihat ornamen-ornamen dan ukiran-ukiran yang terpapar di dinding-dinding gereja, sesekali aku menyentuhnya. Aku pun berjalan menuju sebuah pohon natal besar yang sudah disiapkan untuk perayaan natal tanggal 25 Desember ini. Aku memandanginya sambil ternganga.
“Benar-benar indah,” gumamku.
“Hmm, indah sekali, bukan?” ucap Julie yang sudah berdiri di sampingku.
“Uhm... i.. iya..,” jawabku.
“Hmm.. Greyson, bolehkah aku tahu, apa yang kamu inginkan di hari Natal nanti?” tanya Julie tiba-tiba.
“Hmm.. aku ingin kebahagiaan dan kedamaian. Dan juga,” aku menelan ludahku, “kesembuhan.”
Julie menatapku dari samping, sedangkan aku masih terus menganga melihat pohon Natal yang indah tersebut.
“Maaf, bukannya meragukan harapanmu, tapi, apakah kamu benar-benar yakin?” tanya Julie penasaran. Aku mengalihkan pandanganku ke Julie. Aku pun tersenyum.
“Jelas enggak,” aku tertawa kecil, “tapi siapa tahu? Ya semoga saja harapanku terkabul. Tapi, kalau Tuhan berkehendak lain, ya sudah. Aku akan pasrah dan menjadi,” jawabku sambil tersenyum.
“Penyakitku ini,” aku berhenti sejenak, “bukan penyakit ringan, kan? Bukan hanya amnesia, kan? “
“Greyson..”
“Iya, kan?” tanyaku lagi.
“Greyson..  kamu harus yakin, bahwa kamu pasti bisa mengalahkan penyakitmu itu. Yakinlah, bahwa rencana Tuhan pasti akan jauh lebih baik daripada yang kita perkirakan. Aku sangatlah yakin bahwa suatu saat nanti kamu akan kembali normal, kamu akan mengingat semua kenangan-kenangan indahmu, kamu akan berhasil mengalahkan penyakitmu, dan aku juga yakin, Tuhan pasti akan memberikan jalan yang terbaik bagimu. Tuhan sangat peduli terhadapmu, Greyson. Jadi, jangan putus asa untuk berjuang, okay?”
Aku tersenyum, menahan isakan tangisku. Namun aku tak tahan lagi. Kata orang, lelaki janganlah menangis. Tapi, apa boleh buat? Mungkin hanya ini yang bisa kulakukan untuk beberapa menit ke depan. Aku mulai menjatuhkan diriku ke lantai. Aku bersujud, sambil meneteskan sedikit air mataku. Kata orang, menangis akan membuat kita lega.
“Greyson...,” Julie memanggilku. Ia pun bersujud di sebelahku sambil merangkulku. Ia mulai menangis.
“Berusahalah, kau pasti bisa,” bisiknya sambil menghapus air mataku.
***

“Julie, bangunlah, sudah pagi,” aku dan Julie tertidur di gereja. Kami masih bergandengan tangan satu sama lain.
“Greyson? Kamu tidak apa-apa, kan?” julie sangat khwatir denganku.
“Hahaha, aku tidak apa-apa. Kamu sendiri?” tanyaku kembali.
“Jelas tidak apa-apa. Ayo, kita kembali ke rumah sakit,” ajak Julie. Aku pun mengangguk dan mengikutinya dari belakang.
“Duh, aku lapar sekali,” gumamku.
“Apa katamu?” ucap Julie tiba-tiba.
“Ah, tidak apa-apa, hehehe,” jawabku sambil tersenyum.
“Oh, baiklah kalau begitu,” ucap Julie.
Tiba-tiba, aku merasa sangat pusing. Jalanku mulai tak karuan dan BRUK! Aku tak sadarkan diri lagi.
“Di mana aku?”
“Kok gelap banget?”
Aku membawa sebuah lilin kecil di tangan kananku. Tiba-tiba, aku melihat sebuah cahaya yang sangat besar dan terang. Semakin lama semakin terang. Hingga akhirnya semua menjadi putih. Aku tak mampu merasakan apa-apa lagi.
Aku membuka kedua mataku. Aku melihat banyak sekali kupu-kupu, dengan sayap mereka yang sangat indah dan menawan. Aku terbangun di bawah pohon kecil di tengah ladang bunga yang sangat luas.
“Aku ada di mana, sih?”
Aku mencoba untuk berkeliling, berjalan ke sana dan ke mari.
“Tempat ini sangatlah luas, aku yakin aku pasti tak akan mampu mengelilingi seluruh bagian dari tempat ini.”
“Greyson..  kamu harus yakin, bahwa kamu pasti bisa mengalahkan penyakitmu itu. Yakinlah, bahwa rencana Tuhan pasti akan jauh lebih baik daripada yang kita perkirakan. Aku sangatlah yakin bahwa suatu saat nanti kamu akan kembali normal, kamu akan mengingat semua kenangan-kenangan indahmu, kamu akan berhasil mengalahkan penyakitmu, dan aku juga yakin, Tuhan pasti akan memberikan jalan yang terbaik bagimu. Tuhan sangat peduli terhadapmu, Greyson. Jadi, jangan putus asa untuk berjuang, okay?” Kata-kata tersebut terngiang dalam benakku, lagi dan lagi.
“Apa yang sebaiknya kulakukan?”
Aku mulai putus asa. Aku bahkan tak tahu, di mana aku berada. Aku tak tahu ke mana arah jalan pulang. Dan bagaimana dengan Julie? Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apakah ia akan merindukanku?
Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Aku melihat tubuhku sendiri sedang terbaring di ranjang. Dan Julie, ia sedang menungguiku di pinggir ranjang, sambil menangis dan menggenggam kedua tanganku. Tunggu, tubuhku sedang terbaring di ranjang?!
“Julie?” aku mulai memanggil Julie, namun tak ada respon.
“Julie, apakah kau bisa mendengarku?” tanyaku. Namun kembali tak ada respon.
“Julie! Apa yang sedang terjadi?!”
“Julie!”
“Julie!!!”
Sekali lagi aku berteriak, memanggil nama Julie. Namun kembali tak ada respon darinya. Aku mencoba memegang pundaknya, namun tak bisa. Aku tak bisa memegangnya. Apakah aku ini, hantu?
Aku benar-benar putus asa. Aku pun melihat kalender yang terpanajng di dinding kamar.
“Besok sudah tanggal 24?!” Aku terkejut bukan main. Apakah selama itukah aku tertidur pulas? Seingatku terakhir aku sadar yaitu di tanggal 16. Tapi sekarang, sudah tanggal 24? Aku melihat ke arah jari telunjukku. Ya, masih terdapat bekas luka sobekan di sana. Tanda sebuah perjanjian yang pasti akan kuingkari, besok.
“Maafkan aku, Julie, aku tak akan bisa menepati janji kita berdua,” gumamku.
24, nomor yang sangat menghantuiku.
“Aku sungguh minta maaf, Julie!”
Ya, ini sudah tanggal 24 Desember dan aku belum juga sadar. Julie yang sebelumnya tidur di atas lenganku, kini sudah terbangun. Ia melihat ke arah jam tangannya dan juga ke arah kalender yang ada di dinding.
“Tanggal 24, ya?” gumam Julie.
“Hmm, tanggal 24,” julie mulai menundukkan kepalanya sambil memandangi luka sobekan yang ada di jari telunjuknya.
Julie pun beranjak dari kursi kecil yang ada di samping tubuhku dan beranjak. Ia berjalan ke meja kecil yang ada di sudut ruangan dan mengambil 2 keranjang permen yang kami beli dari toko kecil di perempatan pada tanggal 15 Desember lalu. Ia mengambil sejumlah permen dan memakannya, tepat sepeti apa yang telah kami janjikan.
“Kamu juga harus menepati janjimu, Greyson,” air mata kembali mengalir di pipi lembutnya. Ia pun membuka sebungkus permen kecil dan memasukkannya ke dalam mulutku.
“Dengan begini, janjimu sudah kau tepati,” gumam Julie sambil tersenyum. Ia memegang pipi kiriku dan menangis. Dari kejauhan, aku sangat terharu dan aku pun menundukkan kepalaku.
“Aku harus berusaha!” gumamku lalu langsung berjalan menuju ke arah tubuhku yang tergulai lemas di ranjang. Aku masuk ke dalam tubuhku dan semuanya kembali hitam. Hitam pekat, tak ada cahaya sedikitpun.
***

“Grey? Greyson?! Kamu sudah sadar?!” teriak seorang perempuan.
“A.. aku di mana? Julie mana?” ucapku seraya memegangi dadaku.
“Sudah, tenang dulu, kamu baru sadar, jadi jangan berpikir yang berat-berat dulu ya” jawabnya.
“Mama?” tanyaku.
“Ya, benar, akhirnya ingatanmu pulih, sayang. Selamat, ya!” jawab mama.
Aku hanya tersenyum.
“Ya sudah, mama keluar dulu, ya. Kamu mau makan apa, sayang?” tanya mama.
“Eng.. enggak usah, ma,” jawabku.
“Hmm yaudah deh entar mama cariin makanan yang enak buat kamu,” ucap mama.
“Iya, ma, makasih banyak,” ucapku.
Mama pun tersenyum lalu meninggalkanku sendirian.
“Julie mana?!” gumamku.
Aku melepaskan semua infus yang ada di pergelangan tanganku. Aku tak peduli lagi akan keadaanku. Yang pasti, aku harus segera menemukan Julie.
Aku beranjak dari ranjangku dan membuka korden kamarku. Ya, salju masih turun pagi ini. Aku berjalan keluar dari kamarku dan menuju ke bagian receptionist untuk menanyakan hari dan tanggal hari ini.
“Hari ini hari Selasa, tanggal 31 Desember,” ucap receptionist kepadaku.
“Terima kasih banyak,” jawabku. Aku pun langsung berlari menuju ke luar. Aku menengok ke sekeliling, namun tidak ada siapa-siapa di sana. Aku pun mulai hopeless, namun aku akan selalu berusaha untuk mencari Julie. Karena Julie lah orang yang selalu ada untukku. Setiap detik, menit, jam, hari, bahkan bulan. Ia tak pernah malas menjagaku dan ia tak pernah bosan menemaniku. Oleh karena itu, aku harus segera bertemu dengannya untuk berterima kasih. Julie, kau di mana?
Hari mulai senja, matahari sudah hampir kembali ke singgahsananya, namun aku sama sekali belum menemukan jejak Julie. Ke manakah ia pergi?
Aku mendaki sebuah bukit yang tak terlalu tinggi untuk melihat sunset. Saat tiba di atas bukit, aku pun duduk di rerumputan sambil bermain-main dengan setangkai bunga liar yang kupetik baru saja. Saat sedang asyik bermain bunga, tiba-tiba saja ada seorang perempuan seumuran denganku yang duduk tepat di sebelahku.
“Aku tahu, seharian ini kau pasti sibuk mencariku, kan?” ucapnya tiba-tiba.
“Ju.. Julie?! Ke mana saja kau seharian ini?? Aku sangat merindukanmu!” Aku pun langsung memeluknya erat, dan ia membalas pelukanku, tepat saat matahari mulai tenggelam.
“Benarkan? Aku sudah bisa menebak semuanya,” gumam Julie.
“Sudah diamlah, yang penting kamu selamat,” ucapku.
“Harusnya aku yang bilang begitu,” balas Julie sambil tertawa kecil.
Kami berdua melepaskan pelukan kami dan saling bertatapan satu sama lain. Jantungku berdegup kencang, perasaanku gak karuan, dan napasku kembali tak beraturan. Rasanya seperti hampir tenggelam dalam samudra luas. Julie tersenyum. Ia pun menyodorkan tangan kanannya ke arahku.
“Ada apa, Julie?” tanyaku keheranan.
“Selamat,” ucap Julie, “atas kesembuhanmu.”
Aku tersenyum dan menerima tangan kanannya. Kami berjabat tangan.
Kami berdua pun memandang ke arah langit yang sudah mulai menghitam.
“Yah, setidaknya semua rintangan terberatmu sudah kau lewati,” ucap Julie.
“Ya, aku sangat bersyukur kepada Tuhan, karena Ia benar-benar peduli kepadaku, sesuai seperti apa yang telah kau beritahukan kepadaku,” jawabku.
“Tentu saja, Tuhan pasti selalu memberikan jalan yang terbaik bagi seluruh umat manusia. Percayalah,” ucap Julie lagi.
Aku tersenyum mendengar perkataan Julie. Ia memang gadis yang luarbiasa bagiku.
Hari sudah mulai larut dan kami masih duduk berdua di atas bukit. Ya, ada 1 hal yang sangat kami nantikan, yaitu pesta kembang api.
“Julie, makasih ya,” ucapku.
“Makasih buat?” tanya Julie.
“Makasih buat kepedulianmu selama ini. Selama aku sakit, hanya kamu satu-satunya orang yang mau peduli sama aku, selalu ngerawat aku, menghibur aku. Maaf banget ya kalau pertama kita bertemu, sikapku kasar banget ke kamu,” jawabku sambil menunduk.
“Ah, masalah itu gak perlu dipikirin. Memang sudah selayaknya dan sepantasnya aku sebagai sahabatmu. Aku memang harus selalu peduli sama kamu, selalu menemani kamu. Sahabat memang harus saling membantu, kan? Saling menghibur satu sama lain. Dan itulah yang dinamakan persahabatan sejati,” ucap Julie.
“Iya sih, tapi makasih banget ya, Julie,” ucapku.
“Iya, Greyson, makasih juga udah mau bersahabat sama aku selama ini,” balas Julie.
“Sama-sama, Julie,” ucapku.
 “By the way, Greyson, apakah kamu punya harapan baru di tahun yang baru ini?” tanya Julie.
“Tentu saja,” jawabku.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Julie lagi.
“Masih sama, sih, tapi ada satu lagi,” jawabku.
“Apa itu?”
“Aku ingin kebahagiaan, kedamaian, dan,” jawabku, “aku ingin menjadi hamba Tuhan yang baik.”
Julie tersenyum.
“Kalau kamu?” tanyaku.
“Kalau aku sih, aku mau melihatmu hidup bahagia, damai, dan aku mau supaya kita bisa selalu bersama, selalu sahabatan, setia sampai akhir hidup kita,” jawab Julie.
“Amin.”
Aku menatap kedua mata Julie. Yah, mataku berair mendengar ucapan Julie. Namun aku tetap terus menatap mata Julie. Keempat mata kami pun saling bertemu. Aku pun mendekatkan wajahku ke arah wajahnya. Ya, aku pun mencium bibir Julie. Ia terlihat terkejut pada awalnya, namun akhirnya ia memejamkan matanya pula. Hmm, she’s my first kiss :3 .
Aku pun menggenggam tangan kiri Julie. Kami berdua bergandengan tangan sambil menengadah ke langit untuk menikmati pesta kembang api malam itu. Bukankah di tahun yang baru kita juga harus memiliki harapan yang baru pula? Ya, kami telah siap untuk menjalani hari-hari baru di tahun yang baru dan dengan harapan yang baru pula.

***THE END***



0 comments:

Post a Comment

 

SimpleTeen(•”̮ •)з Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting