Kubuka mataku perlahan-lahan.
“Hah? Dimana aku?”
gumamku sambil menggaruk-garuk kepala.
“Kamu di rumah
sakit,” ucap seorang anak perempuan yang usianya kira-kira sebaya denganku,
“tadi kamu pingsan.”
“Aku ini
sahabatmu. Kamu beneran lupa sama aku?” tanyanya.
“Hahaha, jangan
mengada-ada. Aku bahkan tak pernah sekalipun melihat batang hidungmu. Ah, ini
aku sedang melihatmu, hahaha,” tawaku sambil memegang dadaku.
“Eh, ini apa?!”
Aku terkejut bukan
main. Terdapat beberapa perlengkapan medis yang terpasang di sekitar dadaku.
“Ah, syukurlah,
kamu sudah sadar,” ucap seorang ibu. Sepertinya aku pernah melihatnya sesekali,
tapi dimana, ya?
“I.. ibu.. ibu
siapa?” tanyaku.
Ibu itu tidak
menjawab pertanyaanku, melainkan langsung menundukkan kepalanya dan menangis.
Apakah
aku sudah membuat kesalahan?!
Sekilas memori
mengalir di otak besarku. Hah?!
Aku memejamkan
mataku sejenak. Aku mengingat sesuatu. Sesuatu yang amat indah. Dalam
kegelapan, aku melihat cahaya lilin kecil yang mengarah ke arahku. Aku
terkejut. Tiba-tiba, suara nyanyian merdu pun terdengar.
“Happy birthday
Greyson, happy birthday Greyson, happy birthday, happy birthday, happy birthday
Greyson! Yayyyy!!!”
CLAP, lampu pun
tiba-tiba menyala. Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Aku sangat
terharu. Ternyata mereka adalah sahabat-sahabatku. Ah, ini adalah pesta ulang
tahun ke-15 untukku. Pesta yang sangat meriah, bukan? Eh, tunggu. Pesta? Pesta
ulang tahun?
Perlahan aku
membuka kedua mataku kembali. Suasana telah berubah. Anak perempuan tadi yang
mengaku sebagai sahabatku sudah tertidur pulas di kursi sofa yang ada di pojok
ruangan. Aku bangkit dari kasurku dan beranjak menuju ke arah anak perempuan
tersebut.
“Cantik,” gumamku
sambil mengelus kepalanya. Aku tersenyum memandanginya. Aku pun berusaha
memindahkannya ke tempat tidurku, sedangkan aku menuju ke arah jendela. Aku
membuka korden dan aku melihat salju yang tengah turun. Salju-salju yang
menumpuk di tengah keramaian.
***
“Greyson? Greyson?!”
teriak seorang anak perempuan yang mengejutkanku.
“Uhm.. ah.. ada
apa?” tanyaku sambil mengucek-ucek kedua mataku.
“Kenapa kamu bisa
tertidur di lantai sedangkan aku malah tertidur di ranjangmu?”
“Entahlah,”
jawabku singkat kemudian langsung meninggalkannya untuk menuju ke kamar mandi.
Aku melihat diriku
sendiri melalui cermin. Pucat, sangat pucat. Ya, pucat sekali wajahku. Aku pun
kembali mengecek dadaku. Dan tidak ada alat medis yang terpasang di sana. Aku
pun bingung. Aku mengambil segayung air dan membasuh kedua tanganku dengan air
tersebut. Aku pun membasahi wajahku pula, supaya terlihat sedikit segar.
Setelah selesai, aku keluar dari kamar mandi.
“Kamu kenapa?”
tanya anak perempuan itu.
“Kamu itu yang
kenapa. Kamu itu sebenarnya siapa sih?!” ucapku setengah membentak.
“Aku adalah
sahabatmu, ingat? Namaku adalah Julie Alexandra,” ucapnya sambil tertunduk.
Sepertinya ia merasa sedikit tersinggung karena ucapanku tadi.
“Uhm.. maaf,”
gumamku sambil menyodorkan tangan kananku, berharap agar ia mau menerimanya.
“Tak apa,” ia berbisik
sambil menerima tanganku. Aku tersenyum. Ia juga tersenyum. Suatu senyuman yang
benar-benar indah bagiku.
“Indah,” gumamku.
“Hah,
apa katamu?” tanyanya kebingungan.
“Uhm.. bukan
apa-apa.”
“Eh, by the way, apakah kamu ingat siapa
namamu?” tanya Julie.
“Namaku? Tentu
saja aku ingat! Namaku itu... uhm... siapa ya? Kok tiba-tiba aku lupa.. duh,”
ucapku sambil mengacak-acak rambutku.
“Eh, jangan
begitu, kalau kamu tidak ingat, aku akan berusaha semampuku untuk membantumu
supaya ingatanmu segera pulih,” ucap Julie sambil merapikan rambutku yang baru
saja aku acak.
Pipiku memerah,
jantungku berdegup kencang, napasku tak beraturan. Perasaan apa yang sedang
menyelimuti diriku ini?
“Ayo,” ucap Julie
tiba-tiba sambil menggandeng tanganku dan mengajakku keluar ruangan.
Aku meihat banyak
hiasan Natal terpasang di sana maupun di sini.
“Ini masih tanggal
15 Desember, Natal masih 10 hari lagi. Namun orang-orang di kota ini selalu mempersiapkan
Natal dengan membuat dekorasi Natal yang sangat indah, mulai dari tanggal 1
Desember. Jadi, itulah sebabnya kamu sudah bisa melihat dekorasi natal ini,”
jelasnya sambil tersenyum ke arahku. Aku tersenyum.
“Ngomong-ngomong,
kita ini ada di mana, ya?” tanyaku.
“Seperti yang aku
bilang kemarin, kita sedang di rumah sakit, di kota Paris,” jelas Julie.
“Dan bisakah kamu
memberitahuku? Mengapa aku tak dapat mengingat siapa-siapa dan apa pun yang ada
di kehidupanku di masa lampau?” tanyaku lagi.
“Kamu terserang amnesia, maklum jika kamu tidak mampu
mengingat apa-apa. Amnesia itu memang
penyakit yang membuatmu kehilangan memori,” jelas Julie. Aku terkejut.
“Sudahlah, jangan
berhenti dan berbicara di sini terus, bosan tahu, ayo kita jalan-jalan di kota,”
ajak Julie seraya menggandeng tanganku. Aku mengikutinya di belakang.
“Wah.... bagus
banget pemandangannya....!!” teriakku. Julie hanya tertawa kecil melihat
tingkahku. Ia pun mengeluarkan syal dari tas kecilnya dan melilitkannya di
leherku.
“Apa ini?”
“Ini namanya syal,
supaya kamu enggak kedinginan.”
“Wow,
lucu, makasih banget, ya!” ucapku seraya memandangi syal miliknya.
Kami berdua
berjalan-jalan di pusat keramaian kota. Kota Paris pada malam hari memang
sangatlah indah. Julie membelikanku banyak sekali makanan malam itu. Setelah
kami lelah, kami duduk di sebuah bangku di pinggir jalan.
“Hmm, hari yang
menyenangkan,” ucapku sambil menyenderkan leherku ke bangku tersebut.
“Grey,ada yang mau
kusampaikan ke kamu,” ucap Julie tiba-tiba.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ini masalah
namamu. Dengerin aku, ya, namamu adalah Greyson Michael Chance. Mengerti?” ucap
Julie sambil menggenggam kedua tanganku. Wah, wajahku kembali memerah.
“I.. iya..”
jawabku terbata-bata.
Julie pun terseyum
kemudian mengalihkan pandangannya ke sebuah toko kecil di pojok perempatan
jalan.
“Apa yang sedang
kau lihat?” tanyaku.
Julie
hanya menunjuk ke arah toko kecil tersebut.
“Wah, sepertinya
toko itu menjual berbagai macam permen natal,” ucapku. “Tentu saja. Ayo,” ajak Julie lalu kembali menaik tanganku.
Kami berdua pun berlari menuju toko permen tersebut. Setelah sampai di sana,
kami berdua menganga lebar karena ada banyak sekali permen dengan berbagai
macam warna di sana.
“Wahhhh!!!!”
Julie pun langsung
menarik tanganku dan melihat-lihat permen yang ada di sana. Ia pun membeli
banyak sekali permen natal pada malam itu. Kami berdua pun keluar dari toko
kecil tersebut dengan 2 buah keranjang yang penuh dengan permen.
“Semua permen ini
buat siapa?” tanyaku.
“Buat kita berdua
lah. Pokoknya kamu harus janji, tanggal 24 Desember nanti, atau saat malam
natal, kita harus menghabiskan permen-permen ini bersama. Okay?”
“Okay,” jawabku.
Julie mengeluarkan
silet kecil dari kantong roknya lalu menggoreskannya sedikit di jari
telunjuknya. Aku pun menyodorkan jari telunjukku dan ia menggoresnya sedikit
dengan silet tersebut. Kemudian kami menyatukan darah kami dengan cara
menyatukan telunjuk kami.
Julie pun
menjelaskan panjang lebar, bahwa cara berjanji kami dulu juga seperti itu. Wah,
sedikit mengerikan bukan?
Julie menarik
tanganku dan mengajakku ke gereja. Saat di dalam gereja, ia berlutut di depan
patung malaikat dan berdoa sambil membawa lilin kecil di genggamannya. Saat itu
gereja sedang kosong dan hanya ada kami berdua di dalam gereja tersebut. Aku
pun berjalan-jalan sambil melihat-lihat ornamen-ornamen dan ukiran-ukiran yang
terpapar di dinding-dinding gereja, sesekali aku menyentuhnya. Aku pun berjalan
menuju sebuah pohon natal besar yang sudah disiapkan untuk perayaan natal
tanggal 25 Desember ini. Aku memandanginya sambil ternganga.
“Benar-benar indah,”
gumamku.
“Hmm, indah
sekali, bukan?” ucap Julie yang sudah berdiri di sampingku.
“Uhm... i..
iya..,” jawabku.
“Hmm.. Greyson,
bolehkah aku tahu, apa yang kamu inginkan di hari Natal nanti?” tanya Julie
tiba-tiba.
“Hmm.. aku ingin
kebahagiaan dan kedamaian. Dan juga,” aku menelan ludahku, “kesembuhan.”
Julie menatapku
dari samping, sedangkan aku masih terus menganga melihat pohon Natal yang indah
tersebut.
“Maaf, bukannya
meragukan harapanmu, tapi, apakah kamu benar-benar yakin?” tanya Julie
penasaran. Aku mengalihkan pandanganku ke Julie. Aku pun tersenyum.
“Jelas enggak,”
aku tertawa kecil, “tapi siapa tahu? Ya semoga saja harapanku terkabul. Tapi,
kalau Tuhan berkehendak lain, ya sudah. Aku akan pasrah dan menjadi,” jawabku
sambil tersenyum.
“Penyakitku ini,”
aku berhenti sejenak, “bukan penyakit ringan, kan? Bukan hanya amnesia, kan? “
“Greyson..”
“Iya, kan?”
tanyaku lagi.
“Greyson.. kamu harus yakin,
bahwa kamu pasti bisa mengalahkan penyakitmu itu. Yakinlah, bahwa rencana Tuhan
pasti akan jauh lebih baik daripada yang kita perkirakan. Aku sangatlah yakin
bahwa suatu saat nanti kamu akan kembali normal, kamu akan mengingat semua kenangan-kenangan
indahmu, kamu akan berhasil mengalahkan penyakitmu, dan aku juga yakin, Tuhan
pasti akan memberikan jalan yang terbaik bagimu. Tuhan sangat peduli
terhadapmu, Greyson. Jadi, jangan putus asa untuk berjuang, okay?”
Aku tersenyum, menahan isakan tangisku. Namun aku tak tahan lagi. Kata
orang, lelaki janganlah menangis. Tapi, apa boleh buat? Mungkin hanya ini yang
bisa kulakukan untuk beberapa menit ke depan. Aku mulai menjatuhkan diriku ke
lantai. Aku bersujud, sambil meneteskan sedikit air mataku. Kata orang,
menangis akan membuat kita lega.
“Greyson...,” Julie memanggilku. Ia pun bersujud di sebelahku sambil
merangkulku. Ia mulai menangis.
“Berusahalah, kau pasti bisa,” bisiknya sambil menghapus air mataku.
***
“Julie, bangunlah, sudah pagi,” aku dan Julie tertidur di gereja. Kami
masih bergandengan tangan satu sama lain.
“Greyson? Kamu tidak apa-apa, kan?” julie sangat khwatir denganku.
“Hahaha, aku tidak apa-apa. Kamu sendiri?” tanyaku kembali.
“Jelas tidak apa-apa. Ayo, kita kembali ke rumah sakit,” ajak Julie.
Aku pun mengangguk dan mengikutinya dari belakang.
“Duh, aku lapar sekali,” gumamku.
“Apa katamu?” ucap Julie tiba-tiba.
“Ah, tidak apa-apa, hehehe,” jawabku sambil tersenyum.
“Oh, baiklah kalau begitu,” ucap Julie.
Tiba-tiba, aku merasa sangat pusing. Jalanku mulai tak karuan dan BRUK!
Aku tak sadarkan diri lagi.
“Di mana aku?”
“Kok gelap banget?”
Aku membawa sebuah lilin kecil di tangan kananku. Tiba-tiba, aku
melihat sebuah cahaya yang sangat besar dan terang. Semakin lama semakin terang.
Hingga akhirnya semua menjadi putih. Aku tak mampu merasakan apa-apa lagi.
Aku membuka kedua mataku. Aku melihat banyak sekali kupu-kupu, dengan
sayap mereka yang sangat indah dan menawan. Aku terbangun di bawah pohon kecil
di tengah ladang bunga yang sangat luas.
“Aku ada di mana, sih?”
Aku mencoba untuk berkeliling, berjalan ke sana dan ke mari.
“Tempat ini sangatlah luas, aku yakin aku pasti tak akan mampu
mengelilingi seluruh bagian dari tempat ini.”
“Greyson.. kamu harus yakin,
bahwa kamu pasti bisa mengalahkan penyakitmu itu. Yakinlah, bahwa rencana Tuhan
pasti akan jauh lebih baik daripada yang kita perkirakan. Aku sangatlah yakin
bahwa suatu saat nanti kamu akan kembali normal, kamu akan mengingat semua
kenangan-kenangan indahmu, kamu akan berhasil mengalahkan penyakitmu, dan aku
juga yakin, Tuhan pasti akan memberikan jalan yang terbaik bagimu. Tuhan sangat
peduli terhadapmu, Greyson. Jadi, jangan putus asa untuk berjuang, okay?”
Kata-kata tersebut terngiang dalam benakku, lagi dan lagi.
“Apa yang sebaiknya kulakukan?”
Aku mulai putus asa. Aku bahkan tak tahu, di mana aku berada. Aku tak
tahu ke mana arah jalan pulang. Dan bagaimana dengan Julie? Apa yang sedang ia
lakukan sekarang? Apakah ia akan merindukanku?
Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Aku melihat tubuhku sendiri
sedang terbaring di ranjang. Dan Julie, ia sedang menungguiku di pinggir
ranjang, sambil menangis dan menggenggam kedua tanganku. Tunggu, tubuhku sedang
terbaring di ranjang?!
“Julie?” aku mulai memanggil Julie, namun tak ada respon.
“Julie, apakah kau bisa mendengarku?” tanyaku. Namun kembali tak ada
respon.
“Julie! Apa yang sedang terjadi?!”
“Julie!”
“Julie!!!”
Sekali lagi aku berteriak, memanggil nama Julie. Namun kembali tak ada
respon darinya. Aku mencoba memegang pundaknya, namun tak bisa. Aku tak bisa
memegangnya. Apakah aku ini, hantu?
Aku benar-benar putus asa. Aku pun melihat kalender yang terpanajng di
dinding kamar.
“Besok sudah tanggal 24?!” Aku terkejut bukan main. Apakah selama itukah
aku tertidur pulas? Seingatku terakhir aku sadar yaitu di tanggal 16. Tapi
sekarang, sudah tanggal 24? Aku melihat ke arah jari telunjukku. Ya, masih
terdapat bekas luka sobekan di sana. Tanda sebuah perjanjian yang pasti akan
kuingkari, besok.
“Maafkan aku, Julie, aku tak akan bisa menepati janji kita berdua,”
gumamku.
24, nomor yang sangat menghantuiku.
“Aku sungguh minta maaf, Julie!”
Ya, ini sudah tanggal 24 Desember dan aku belum juga sadar. Julie yang
sebelumnya tidur di atas lenganku, kini sudah terbangun. Ia melihat ke arah jam
tangannya dan juga ke arah kalender yang ada di dinding.
“Tanggal 24, ya?” gumam Julie.
“Hmm, tanggal 24,” julie mulai menundukkan kepalanya sambil memandangi
luka sobekan yang ada di jari telunjuknya.
Julie pun beranjak dari kursi kecil yang ada di samping tubuhku dan
beranjak. Ia berjalan ke meja kecil yang ada di sudut ruangan dan mengambil 2
keranjang permen yang kami beli dari toko kecil di perempatan pada tanggal 15
Desember lalu. Ia mengambil sejumlah permen dan memakannya, tepat sepeti apa
yang telah kami janjikan.
“Kamu juga harus menepati janjimu, Greyson,” air mata kembali mengalir
di pipi lembutnya. Ia pun membuka sebungkus permen kecil dan memasukkannya ke
dalam mulutku.
“Dengan begini, janjimu sudah kau tepati,” gumam Julie sambil
tersenyum. Ia memegang pipi kiriku dan menangis. Dari kejauhan, aku sangat
terharu dan aku pun menundukkan kepalaku.
“Aku harus berusaha!” gumamku lalu langsung berjalan menuju ke arah
tubuhku yang tergulai lemas di ranjang. Aku masuk ke dalam tubuhku dan semuanya
kembali hitam. Hitam pekat, tak ada cahaya sedikitpun.
***
“Grey? Greyson?! Kamu sudah sadar?!” teriak seorang perempuan.
“A.. aku di mana? Julie mana?” ucapku seraya memegangi dadaku.
“Sudah, tenang dulu, kamu baru sadar, jadi jangan berpikir yang
berat-berat dulu ya” jawabnya.
“Mama?” tanyaku.
“Ya, benar, akhirnya ingatanmu pulih, sayang. Selamat, ya!” jawab mama.
Aku hanya tersenyum.
“Ya sudah, mama keluar dulu, ya. Kamu mau makan apa, sayang?” tanya
mama.
“Eng.. enggak usah, ma,” jawabku.
“Hmm yaudah deh entar mama cariin makanan yang enak buat kamu,” ucap
mama.
“Iya, ma, makasih banyak,” ucapku.
Mama pun tersenyum lalu meninggalkanku sendirian.
“Julie mana?!” gumamku.
Aku melepaskan semua infus yang ada di pergelangan tanganku. Aku tak
peduli lagi akan keadaanku. Yang pasti, aku harus segera menemukan Julie.
Aku beranjak dari ranjangku dan membuka korden kamarku. Ya, salju masih
turun pagi ini. Aku berjalan keluar dari kamarku dan menuju ke bagian
receptionist untuk menanyakan hari dan tanggal hari ini.
“Hari ini hari Selasa, tanggal 31 Desember,” ucap receptionist
kepadaku.
“Terima kasih banyak,” jawabku. Aku pun langsung berlari menuju ke
luar. Aku menengok ke sekeliling, namun tidak ada siapa-siapa di sana. Aku pun
mulai hopeless, namun aku akan selalu
berusaha untuk mencari Julie. Karena Julie lah orang yang selalu ada untukku.
Setiap detik, menit, jam, hari, bahkan bulan. Ia tak pernah malas menjagaku dan
ia tak pernah bosan menemaniku. Oleh karena itu, aku harus segera bertemu
dengannya untuk berterima kasih. Julie, kau di mana?
Hari mulai senja, matahari sudah hampir kembali ke singgahsananya,
namun aku sama sekali belum menemukan jejak Julie. Ke manakah ia pergi?
Aku mendaki sebuah bukit yang tak terlalu tinggi untuk melihat sunset. Saat tiba di atas bukit, aku pun
duduk di rerumputan sambil bermain-main dengan setangkai bunga liar yang
kupetik baru saja. Saat sedang asyik bermain bunga, tiba-tiba saja ada seorang
perempuan seumuran denganku yang duduk tepat di sebelahku.
“Aku tahu, seharian ini kau pasti sibuk mencariku, kan?” ucapnya
tiba-tiba.
“Ju.. Julie?! Ke mana saja kau seharian ini?? Aku sangat merindukanmu!”
Aku pun langsung memeluknya erat, dan ia membalas pelukanku, tepat saat
matahari mulai tenggelam.
“Benarkan? Aku sudah bisa menebak semuanya,” gumam Julie.
“Sudah diamlah, yang penting kamu selamat,” ucapku.
“Harusnya aku yang bilang begitu,” balas Julie sambil tertawa kecil.
Kami berdua melepaskan pelukan kami dan saling bertatapan satu sama
lain. Jantungku berdegup kencang, perasaanku gak karuan, dan napasku kembali
tak beraturan. Rasanya seperti hampir tenggelam dalam samudra luas. Julie
tersenyum. Ia pun menyodorkan tangan kanannya ke arahku.
“Ada apa, Julie?” tanyaku keheranan.
“Selamat,” ucap Julie, “atas kesembuhanmu.”
Aku tersenyum dan menerima tangan kanannya. Kami berjabat tangan.
Kami berdua pun memandang ke arah langit yang sudah mulai menghitam.
“Yah, setidaknya semua rintangan terberatmu sudah kau lewati,” ucap
Julie.
“Ya, aku sangat bersyukur kepada Tuhan, karena Ia benar-benar peduli
kepadaku, sesuai seperti apa yang telah kau beritahukan kepadaku,” jawabku.
“Tentu saja, Tuhan pasti selalu memberikan jalan yang terbaik bagi
seluruh umat manusia. Percayalah,” ucap Julie lagi.
Aku tersenyum mendengar perkataan Julie. Ia memang gadis yang luarbiasa
bagiku.
Hari sudah mulai larut dan kami masih duduk berdua di atas bukit. Ya,
ada 1 hal yang sangat kami nantikan, yaitu pesta kembang api.
“Julie, makasih ya,” ucapku.
“Makasih buat?” tanya Julie.
“Makasih buat kepedulianmu selama ini. Selama aku sakit, hanya kamu
satu-satunya orang yang mau peduli sama aku, selalu ngerawat aku, menghibur
aku. Maaf banget ya kalau pertama kita bertemu, sikapku kasar banget ke kamu,”
jawabku sambil menunduk.
“Ah, masalah itu gak perlu dipikirin. Memang sudah selayaknya dan
sepantasnya aku sebagai sahabatmu. Aku memang harus selalu peduli sama kamu,
selalu menemani kamu. Sahabat memang harus saling membantu, kan? Saling
menghibur satu sama lain. Dan itulah yang dinamakan persahabatan sejati,” ucap
Julie.
“Iya sih, tapi makasih banget ya, Julie,” ucapku.
“Iya, Greyson, makasih juga udah mau bersahabat sama aku selama ini,”
balas Julie.
“Sama-sama, Julie,” ucapku.
“By the way, Greyson, apakah
kamu punya harapan baru di tahun yang baru ini?” tanya Julie.
“Tentu saja,” jawabku.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Julie lagi.
“Masih sama, sih, tapi ada satu lagi,” jawabku.
“Apa itu?”
“Aku ingin kebahagiaan, kedamaian, dan,” jawabku, “aku ingin menjadi
hamba Tuhan yang baik.”
Julie tersenyum.
“Kalau kamu?” tanyaku.
“Kalau aku sih, aku mau melihatmu hidup bahagia, damai, dan aku mau
supaya kita bisa selalu bersama, selalu sahabatan, setia sampai akhir hidup
kita,” jawab Julie.
“Amin.”
Aku menatap kedua mata Julie. Yah, mataku
berair mendengar ucapan Julie. Namun aku tetap terus menatap mata Julie.
Keempat mata kami pun saling bertemu. Aku pun mendekatkan wajahku ke arah
wajahnya. Ya, aku pun mencium bibir Julie. Ia terlihat terkejut pada awalnya,
namun akhirnya ia memejamkan matanya pula. Hmm, she’s my first kiss :3 .
Aku pun menggenggam tangan kiri Julie. Kami berdua bergandengan tangan
sambil menengadah ke langit untuk menikmati pesta kembang api malam itu.
Bukankah di tahun yang baru kita juga harus memiliki harapan yang baru pula?
Ya, kami telah siap untuk menjalani hari-hari baru di tahun yang baru dan
dengan harapan yang baru pula.
***THE END***
0 comments:
Post a Comment